Senin, 01 Desember 2008

hari aids sedunia

PBB memperingati Hari AIDS Sedunia hari ini, dengan tekanan khusus pada peran perorangan dalam memberantas penyebaran HIV, virus penyebab penyakit AIDS. Tema peringatan hari ini adalah 'Aku Peduli, Pedulikah Anda?'. Slogan itu bertujuan menciptakan fokus pada apa yang dapat dilakukan perorangan, terutama pria, untuk membasmi HIV dan AIDS. Angka-angka terbaru PBB menunjukkan, sekarang ini 40 juta orang mengidap HIV atau AIDS, yang berarti naik empat juta kasus dari tahun lalu. Beberapa negara melancarkan kampanye dan program AIDS bertepatan dengan peringatan Hari AIDS Sedunia ini. Di wilayah Sahara Selatan, Afrika, AIDS telah mencapai tingkat wabah, dan menjadi penyebab kematian utama di sana. Namun para pejabat PBB mengatakan, penyakit itu menyebar paling cepat di Eropa Timur, dan Ukraina memiliki tingkat infeksi tertinggi. Hari AIDS Sedunia dinyatakan tahun 1988 dalam sebuah konferensi para menteri kesehatan sedunia, sebagai suatu cara untuk memberitahu masyarakat mengenai penyakit itu. sumber:http://www.voanews.com

Senin, 24 November 2008

sejarah kota malang

SEJARAH KOTA MALANG
Daerah Malang merupakan peradaban tua yang tergolong pertama kali muncul dalam sejarah Indonesia yaitu sejak abad ke 7 Masehi. Peninggalan yang lebih tua seperti di Trinil (Homo Soloensis) dan Wajak - Mojokerto (Homo Wajakensis) adalah bukti arkeologi fisik (fosil) yang tidak menunjukkan adanya suatu peradaban. Peninggalan purbakala disekitar wilayah Kota Malang seperti Prasasti Dinoyo (760 Masehi), Candi Badut, Besuki, Singosari, Jago, Kidal dan benda keagamaan berasal dari tahun 1414 di Desa Selabraja menunjukkan Malang merupakan pusat peradaban selama 7 abad secara kontinyu.
Malang merupakan wilayah kekuasaan 5 dinasti yaitu Dewasimha / Gajayana (Kerajaan Kanjuruhan), Balitung / Daksa / Tulodong Wawa (Kerajaan Mataram Hindu), Sindok / Dharmawangsa / Airlangga / Kertajaya (Kerajaan Kediri), Ken Arok hingga Kertanegara (Kerajaan Singosari), Raden Wijaya hingga Bhre Tumapel 1447 - 1451 (Kerajaan Majapahit).
MASA KERAJAAN KANJURUHAN
Kerajaan Kanjuruhan menurut para ahli purbakala berpusat dikawasan Dinoyo Kota Malang sekarang. Salah satu bukti keberadaan Kerajaan Kanjuruhan ini adalah Prasasti Dinoyo yang saat ini berada di Museum Jakarta. Prasasti Dinoyo ditemukan di Desa Merjosari (5 Km. sebelah Barat Kota Malang), di kawasan Kampus III Universitas Muhammadiyah saat ini. Prasasti Dinoyo merupakan peninggalan yang unik karena ditulis dalam huruf Jawa Kuno dan bukan huruf Pallawa sebagaimana prasasti sebelumnya. Keistimewaan lain adalah cara penulisan tahun berbentuk Condro Sangkala berbunyi Nayana Vasurasa (tahun 682 Saka) atau tahun 760 Masehi. Dalam Prasasti Dinoyo diceritakan masa keemasan Kerajaan Kanjuruhan sebagaimana berikut :
Ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh Raja yang sakti dan bijaksana dengan nama Dewasimha
Setelah Raja meninggal digantikan oleh puteranya yang bernama Sang Liswa
Sang Liswa terkenal dengan gelar Gajayana dan menjaga Istana besar bernama Kanjuruhan
Sang Liswa memiliki puteri yang disebut sebagai Sang Uttiyana
Raja Gajayana dicintai para brahmana dan rakyatnya karena membawa ketentraman diseluruh negeri
Raja dan rakyatnya menyembah kepada yang mulia Sang Agastya
Bersama Raja dan para pembesar negeri Sang Agastya (disebut Maharesi) menghilangkan penyakit
Raja melihat Arca Agastya dari kayu Cendana milik nenek moyangnya
Maka raja memerintahkan membuat Arca Agastya dari batu hitam yang elok
Salah satu Arca Agastya ada di dalam kawasan Candi Besuki yang saat ini tinggal pondasinya saja. Bukti lain keberadaan Kerajaan Kanjuruhan adalah Candi Badut yang hingga kini masih cukup baik keadaannya serta telah mengalama renovasi dari Dinas Purbakala. Peninggalan lain adalah Patung Dewasimha yang berada di tengah Pasar Dinoyo saat ini.
MASA KERAJAAN MATARAM HINDU
Keturunan Dewasimha dan Gajayana mundur sejalan dengan munculnya dinasti baru di daerah Kediri yaitu Balitung, Daksa, Tulodong dan Wawa yang merupakan keturunan Raja Mataram Hindu di Jawa Tengah. Balitung (898 - 910) adalah Raja Mataram pertama yang menguasai Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dinasti ini memusatkan kekuasaannya di daerah Kediri yang lebih dekat ke Jawa Tengah dibandingkan dengan bekas pusat kekuasaan Kerajaan Kanjuruhan di Malang. Pada masa ini Malang hanyalah sebuah wilayah yang tidak begitu penting kedudukannya.
MASA KERAJAAN KEDIRI, DAHA DAN JENGGALA
Dinasti berikutnya yang menguasai Kediri setelah kemunduran Mataram Hindu adalah keturunan Sindok, Dharmawangsa, Airlangga dan terakhir Kertajaya (1216 - 1222). Pada masa ini pusat kekuasaan beralih ke Daha / Jenggala sedangkan daerah Malang menjadi sebuah wilayah setingkat Kadipaten yang maju dan besar terutama sebagai dalam bidang keagamaan dan perdagangan, dipimpin oleh seorang Akuwu.
MASA KERAJAAN SINGOSARI
Singosari dikenal sebagai salah satu kerajaan terbesar di tanah Jawa yang disegani diseluruh Nusantara dan manca negara. Singosari semula adalah sebuah Kadipaten dibawah kekuasaan Raja Kediri yaitu Kertajaya. Kadipaten tersebut bernama Tumapel dipimpin oleh Akuwu Tunggul Ametung yang kemudian direbut kedudukannya oleh Ken Arok. Ken Arok kemudian mengembalikan pusat kekuasaan ke daerah Malang setelah Kediri ditaklukkan. Selama 7 generasi Kerajaan Singosari berkembang pesat hingga menguasai sebagian besar wilayah Nusantara. Bahkan Raja terakhir yaitu Kertanegara mempermalukan utusan Maharaja Tiongkok Kubhilai Khan yang meminta Singosari menyerahkan kekuasaannya.
Singosari jatuh ketangan Kediri ketika sebagian besar pasukan Kertanegara melakukan ekspedisi perang hingga ke Kerajaan Melayu dan Sriwijaya. Namun tidak lama kemudian pasukan Kediri berhasil dipukul mundur oleh keturunan Kertanegara yaitu Raden Wijaya yang kemudian dikenal sebagai pendiri Kerajaan Majapahit. Pada saat yang hampir bersamaan Raden Wijaya juga harus menghadapi serbuan dari armada Tiongkok yang menuntut balas atas perlakuan Raja Singosari sebelumnya (Kertanegara) terhadap utusannya. Armada Tiongkok inipun berhasil dikalahkan oleh Raden Wijaya berkat bantuan dari Penguasa Madura yaitu Arya Wiraraja.
MASA KERAJAAN MAJAPAHIT
Kerajaan Majapahit mencapai masa keemasan ketika dipimpin oleh Hayam Wuruk dengan patihnya Gajah Mada yang terkenal dengan Sumpah Palapa. Majapahit menaklukkan hampir seluruh Nusantara dan melebarkan sayapnya hingga ke seluruh Asia Tenggara. Pada masa ini daerah Malang tidak lagi menjadi pusat kekuasaan karena diduga telah pindah ke daerah Nganjuk. Menurut para ahli di Malang ditempatkan seorang penguasa yang disebut Raja pula.
Dalam Negara Kertagama dikisahkan Hayam Wuruk sebagai Raja Majapahit melakukan ziarah ke makam leluhurnya (yang berada disekitar daerah Malang), salah satunya di dekat makam Ken Arok. Ini menunjukkan bahwa walaupun bukan pusat pemerintahan namun Malang adalah kawasan yang disucikan karena merupakan tanah makam para leluhur yang dipuja sebagai Dewa. Beberapa prasasti dan arca peninggalan Majapahit dikawasan puncak Gunung Semeru (Telaga Ranu Gumbolo) dan juga di Gunung Arjuna menunjukkan bahwa kawasan Gunung Bromo - Tengger - Semeru serta Gunung Arjuna adalah tempat bersemayam para Dewa dan hanya keturunan Raja yang boleh menginjakkan kaki di wilayah tersebut. Bisa disimpulkan bahwa berbagai peninggalan tersebut merupakan rangkaian yang saling berhubungan walaupun terpisah oleh masa yang berbeda sepanjang 7 abad.
ASAL USUL NAMA KOTA MALANG
Nama Batara Malangkucecwara disebutkan dalam Piagam Kedu (tahun 907) dan Piagam Singhasari (tahun 908). Diceritakan bahwa para pemegang piagam adalah pemuja Batara (Dewa) Malangkucecwara, Puteswara (Putikecwara menurut Piagam Dinoyo), Kutusan, Cilahedecwara dan Tulecwara. Menurut para ahli diantaranya Bosch, Krom dan Stein Calleneis, nama Batara tersebut sesungguhnya adalah nama Raja setempat yang telah wafat, dimakamkan dalam Candi Malangkucecwara yang kemudian dipuja oleh pengikutnya, hal ini sesuai dengan kultus Dewa - Raja dalam agama Ciwa.
Nama para Batara tersebut sangat dekat dengan nama Kota Malang saat ini, mengingat nama daerah lain juga berkaitan dengan peninggalan di daerah tersebut misalnya Desa Badut (Candi Badut), Singosari (Candi Singosari). Dalam Kitab Pararaton juga diceritakan keeratan hubungan antara nama tempat saat ini dengan nama tempat di masa lalu misalnya Palandit (kini Wendit) yang merupakan pusat mandala atau perguruan agama. Kegiatan agama di Wendit adalah salah satu dari segitiga pusat kegiatan Kutaraja pada masa Ken Arok (Singosari - Kegenengan - Kidal - Jago : semuanya berupa candi).
Pusat mandala disebut sebagai panepen (tempat menyepi) salah satunya disebut Kabalon (Kebalen di masa kini). Letak Kebalen kini yang berada di tepi sungai Brantas sesuai dengan kisah dalam Pararaton yang menyebut mandala Kabalon dekat dengan sungai. Disekitar daerah Kebalen - Kuto Bedah - DAS Brantas banyak dijumpai gua buatan manusia yang hingga kini masih dipakai sebagai tempat menyepi oleh pengikut mistik dan kepercayaan. Bukti lain kedekatan nama tempat ini adalah nama daerah Turyanpada kini Turen, Lulumbang kini Lumbangsari, Warigadya kini Wagir, Karuman kini Kauman.
Pararaton ditulis pada tahun 1481 atau 250 tahun sesudah masa Kerajaan Singosari menggunakan bahasa Jawa Pertengahan dan bukan lagi bahasa Jawa Kuno sehingga diragukan sebagai sumber sejarah yang menyangkut pemerintahan dan politik. Penulisan Pararaton sudah . Namun pendekatan yang dipakai para ahli dalam menyelidiki asal usul nama Kota Malang didasarkan pada asumsi bahwa nama tempat tidak akan jauh berubah dalam kurun waktu tersebut. Hal ini bisa dibuktikan antara lain dari nama Kabalon (tempat menyepi) ternyata juga disebutkan dalam Negara Kertagama. Dalam kitab tersebut dikisahkan bahwa puteri mahkota Hayam Wuruk yaitu Kusumawardhani (Bhre Lasem) sebelum menggantikan ayahnya terlebih dahulu menyepi di di Kabalon dekat makam leluhurnya yaitu Ken Arok atau Rangga Rajasa alias Cri Amurwabumi. Makam Ken Arok tersebut adalah Candi Kegenengan.
Namun istilah Kabalon hanya dikenal dikalangan bangsawan, hal inilah yang menyebabkan istilah Kabalon tidak berkembang. Rakyat pada masa itu tetap menyebut dan mengenal daerah petilasan Malangkucecwara dengan nama Malang hingga diwariskan pada masa sekarang.
MASA KOLONIAL
Setelah kemunduran Kerajaan Majapahit yang terdesak oleh Kerajaan Mataram Islam, daerah Malang semakin ditinggalkan bahkan dijauhi karena kultus Dewa - Raja dan agama Hindu bertentangan dengan ajaran Islam. Peninggalan peradaban Hindu - Ciwa tidak lagi diperhatikan karena sisa pengikut Kerajaan Majapahit yang memeluk agama Hindu Ciwa menyingkir ke daerah Tengger dan keturunannya dikenal sebagai masyarakat Tengger sekarang.
Kedatangan bangsa kulit putih antara lain Portugis, Belanda dan Inggris pada akhirnya mengakibatkan kemunduran Kerajaan mataram sehingga Nusantara jatuh kedalam masa penjajahan. Dalam masa pertengahan penjajahan menurut Buku History of Java karangan Gubernur Jenderal Raffles (1812), Malang merupakan daerah perkebunan dibawah Kabupaten Pasuruan. Malang berkembang pesat setelah ada jalur kereta api dan dibukanya berbagai perkebunan terutama tebu untuk industri gula. Sampai saat ini dua pabrik gula peninggalan kolonial masih beroperasi yaitu PG. Krebet Baru dan PG. Kebon Agung.
MASA KEMERDEKAAN
Pada masa sesudah Proklamasi Kemerdekaan di Malang didirikan Pemerintah Daerah Sementara dan pada masa Perang Kemerdekaan (Clash I 1947 dan Clash II 1949) daerah Malang menjadi basis perjuangan baik politis maupun gerilya. Berbagai pasukan antara lain TGP dan pasukan Hamid Rusdi sangat terkenal dengan kegigihan dan keberaniannya. Salah satu pertempuran dahsyat dalam mempertahankan Kota Malang yang selalu dikenang adalah front Jalan Salak (kini Jalan Pahlawan Trip). Pada saat itu gugur 35 orang anggota Brigade 17 Detasemen I Trip Jawa Timur. Di bekas lokasi pertempuran tersebut kini didirikan Monumen dan Makam Pahlawan Trip. Makam Pahlawan yang lain terletak di Jalan Veteran tidak jauh dari Jalan Pahlawan Trip.
Foto2 perjuangan
Foto2 patung2 perjuangan
Isi Museum Brawijaya
MASA ORDE LAMA
Pergolakan politis pada akhir masa Orde Lama juga terjadi di Malang karena aktifitas PKI / Komunis cukup banyak mempengaruhi masyarakat terutama golongan pemuda. Terjadi rapat2 umum, demonstrasi, kerusuhan dan bentrokan fisik antara pendukung Komunis dengan pendukung Pancasila, salah satunya yang terkenal adalah penyerbuan Gedung Sarinah sekarang. Akhirnya kelompok Komunis dapat dikalahkan dan melarikan diri ke daerah Blitar sehingga dilakukan operasi militer Sandhi Yudha yang mengakhiri petualangan Komunis di Indonesia.
MASA ORDE BARU
Kota Malang berkembang pesat pada masa Orde Baru berkat perkembangan perekonomian yang semakin baik dan semangat masyarakat yang kuat untuk meraih hari depan yang lebih baik. Berbagai kegiatan pembangunan di segala bidang terus dilakukan dan memberikan hasil yang memuaskan.
MASA REFORMASI
Malang sebagai Kota Pendidikan juga menjadi salah satu barometer aksi yang menggulirkan reformasi. Ribuan Pelajar dan Mahasiswa turun ke jalan untuk memperjuangkan hak rakyat dan prinsip demokrasi hingga berhasil. Dan perjuangan terus dilanjutkan di daerah antara lain dengan mengupayakan pemilihan Pimpinan Daerah (Walikota) yang demokratis.

arema kalah suporter mengamuk

Arema Kalah, Suporter Mengamuk
Liputan6.com, Malang: Kerusuhan mewarnai lanjutan Liga Super Indonesia antara Arema Malang versus Pupuk Kalimantan Timur (PKT) Bontang di Stasion Kanjuruhan Malang, Jawa Timur, Sabtu (13/9) malam. Suporter tuan rumah mengamuk dan mengeroyok wasit. Penonton juga merusak fasilitas stadion.
Insiden terjadi setelah wasit meniup peluit tanda pertandingan berakhir. Aremania berusaha menyerang wasit dengan pukulan dan lemparan. Suasana tak terkendali saat ratusan penonton di tribun turun ke lapangan. Mereka melampiaskan kemarahan dengan menyerang polisi dan melakukan perusakan. Ketua pelaksana pertandingan luka-luka akibat lemparan batu.
Kerusuhan ini adalah klimaks dari panasnya pertandingan di lapangan terlebih setelah pemain Arema, Emanuel Mbamba, diusir wasit setelah timnya tertinggal dua gol melalui Imral Usman serta James Debbah sebelum memperkecil ketertinggaln lewat gol Soleyman Traore.(JUM/Noor Ramadhan)

sejarah islam

SEJARAH ISLAM DI INDONESIA

Pada tahun 30 Hijri atau 651 Masehi, hanya berselang sekitar 20 tahun dari wafatnya Rasulullah SAW, Khalifah Utsman ibn Affan RA mengirim delegasi ke Cina untuk memperkenalkan Daulah Islam yang belum lama berdiri. Dalam perjalanan yang memakan waktu empat tahun ini, para utusan Utsman ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 674 M, Dinasti Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di pantai barat Sumatera. Inilah perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan Islam. Sejak itu para pelaut dan pedagang Muslim terus berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari negeri nan hijau ini sambil berdakwah.
Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam meskipun belum secara besar-besaran. Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali menerima agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H / 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi., yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H / 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi'i. Adapun peninggalan tertua dari kaum Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang salah satu diantaranya adalah makam seorang Muslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H / 1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan Singasari. Diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab.
Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara besar-besaran. Baru pada abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam dan para pendatang Arab. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan lil'alamin.
Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan terbentuknya pemerintahan-pemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan ini, perdagangan dengan kaum Muslimin dari pusat dunia Islam menjadi semakin erat. Orang Arab yang bermigrasi ke Nusantara juga semakin banyak. Yang terbesar diantaranya adalah berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam Tarikh Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang sejarah Hadramaut. Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani berdatangan dan dengan rakusnya menguasai daerah-demi daerah di Nusantara, hubungan dengan pusat dunia Islam seakan terputus. Terutama di abad ke 17 dan 18 Masehi. Penyebabnya, selain karena kaum Muslimin Nusantara disibukkan oleh perlawanan menentang penjajahan, juga karena berbagai peraturan yang diciptakan oleh kaum kolonialis. Setiap kali para penjajah - terutama Belanda - menundukkan kerajaan Islam di Nusantara, mereka pasti menyodorkan perjanjian yang isinya melarang kerajaan tersebut berhubungan dagang dengan dunia luar kecuali melalui mereka. Maka terputuslah hubungan ummat Islam Nusantara dengan ummat Islam dari bangsa-bangsa lain yang telah terjalin beratus-ratus tahun. Keinginan kaum kolonialis untuk menjauhkan ummat Islam Nusantara dengan akarnya, juga terlihat dari kebijakan mereka yang mempersulit pembauran antara orang Arab dengan pribumi.
Semenjak awal datangnya bangsa Eropa pada akhir abad ke-15 Masehi ke kepulauan subur makmur ini, memang sudah terlihat sifat rakus mereka untuk menguasai. Apalagi mereka mendapati kenyataan bahwa penduduk kepulauan ini telah memeluk Islam, agama seteru mereka, sehingga semangat Perang Salib pun selalu dibawa-bawa setiap kali mereka menundukkan suatu daerah. Dalam memerangi Islam mereka bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan pribumi yang masih menganut Hindu / Budha. Satu contoh, untuk memutuskan jalur pelayaran kaum Muslimin, maka setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, Portugis menjalin kerjasama dengan Kerajaan Sunda Pajajaran untuk membangun sebuah pangkalan di Sunda Kelapa. Namun maksud Portugis ini gagal total setelah pasukan gabungan Islam dari sepanjang pesisir utara Pulau Jawa bahu membahu menggempur mereka pada tahun 1527 M. Pertempuran besar yang bersejarah ini dipimpin oleh seorang putra Aceh berdarah Arab Gujarat, yaitu Fadhilah Khan Al-Pasai, yang lebih terkenal dengan gelarnya, Fathahillah. Sebelum menjadi orang penting di tiga kerajaan Islam Jawa, yakni Demak, Cirebon dan Banten, Fathahillah sempat berguru di Makkah. Bahkan ikut mempertahankan Makkah dari serbuan Turki Utsmani.
Kedatangan kaum kolonialis di satu sisi telah membangkitkan semangat jihad kaum muslimin Nusantara, namun di sisi lain membuat pendalaman akidah Islam tidak merata. Hanya kalangan pesantren (madrasah) saja yang mendalami keislaman, itupun biasanya terbatas pada mazhab Syafi'i. Sedangkan pada kaum Muslimin kebanyakan, terjadi percampuran akidah dengan tradisi pra Islam. Kalangan priyayi yang dekat dengan Belanda malah sudah terjangkiti gaya hidup Eropa. Kondisi seperti ini setidaknya masih terjadi hingga sekarang. Terlepas dari hal ini, ulama-ulama Nusantara adalah orang-orang yang gigih menentang penjajahan. Meskipun banyak diantara mereka yang berasal dari kalangan tarekat, namun justru kalangan tarekat inilah yang sering bangkit melawan penjajah. Dan meski pada akhirnya setiap perlawanan ini berhasil ditumpas dengan taktik licik, namun sejarah telah mencatat jutaan syuhada Nusantara yang gugur pada berbagai pertempuran melawan Belanda. Sejak perlawanan kerajaan-kerajaan Islam di abad 16 dan 17 seperti Malaka (Malaysia), Sulu (Filipina), Pasai, Banten, Sunda Kelapa, Makassar, Ternate, hingga perlawanan para ulama di abad 18 seperti Perang Cirebon (Bagus rangin), Perang Jawa (Diponegoro), Perang Padri (Imam Bonjol), dan Perang Aceh (Teuku Umar).
(Bersambung)